Pembelajaran Sains, terutama pada konsep-konsep yang abstrak dan kompleks seperti struktur molekul, anatomi manusia, atau fenomena fisika di luar angkasa, sering kali terhambat oleh keterbatasan visualisasi di kelas. Alat bantu tradisional seperti buku teks dua dimensi atau model fisik statis tidak selalu mampu memberikan pemahaman mendalam yang dibutuhkan siswa. Untuk menjembatani kesenjangan ini, inovasi pendidikan telah memanfaatkan Extended Reality (XR), khususnya Teknologi Augmented Reality (AR) dan Virtual Reality (VR). Kedua teknologi ini memainkan peran krusial dalam mengubah pembelajaran sains dari sekadar menghafal menjadi pengalaman yang imersif, interaktif, dan tak terlupakan, yang pada akhirnya meningkatkan retensi dan minat belajar siswa.
Teknologi Augmented Reality bekerja dengan menempatkan objek digital (seperti model 3D) di atas lingkungan nyata melalui kamera smartphone atau tablet. Penerapannya dalam mata pelajaran Biologi dan Kimia sangat revolusioner. Misalnya, dalam mata kuliah Anatomi di Fakultas Kedokteran Universitas Prima Edukasi, mahasiswa kini dapat menggunakan aplikasi AR untuk memproyeksikan model organ tubuh manusia 3D yang berdetak ke atas meja mereka, memungkinkan mereka membedah lapisan-lapisan organ tanpa perlu model kadaver fisik. Dalam kimia, siswa dapat melihat bagaimana atom-atom berinteraksi dan membentuk molekul secara real-time di permukaan buku mereka. Sebuah studi yang dilakukan di universitas tersebut menunjukkan bahwa penggunaan AR dalam mata kuliah Anatomi Dasar berhasil meningkatkan skor tes pemahaman rata-rata mahasiswa sebesar 25% pada akhir semester Ganjil 2025/2026.
Sementara AR memperkaya dunia nyata, Virtual Reality (VR) membawa siswa sepenuhnya ke dunia simulasi. VR sangat berguna dalam mata pelajaran yang memerlukan eksplorasi lingkungan yang berbahaya, mahal, atau tidak mungkin diakses secara fisik. Dalam Fisika, siswa dapat “memasuki” ruang angkasa untuk mengamati hukum gravitasi atau berinteraksi dengan medan magnet tanpa risiko. Demikian pula, laboratorium virtual yang didukung VR memungkinkan siswa melakukan eksperimen kimia yang melibatkan bahan sangat reaktif dengan aman. Teknologi Augmented Reality dan VR secara kolektif memecahkan dilema biaya dan keamanan. Penggunaan laboratorium virtual untuk eksperimen kimia berbahaya telah membantu Sekolah Menengah Unggulan (SMU) Nusantara mengurangi pengeluaran material laboratorium hingga 60% per tahun, sambil menjamin bahwa tidak ada siswa yang terekspos bahan kimia berbahaya.
Penerapan Teknologi Augmented Reality dan VR juga menawarkan solusi untuk masalah ketersediaan alat dan kesenjangan geografis. Sekolah yang berlokasi di daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas laboratorium lengkap kini dapat memberikan pengalaman belajar sains yang setara dengan sekolah di kota besar. Siswa dapat melakukan “perjalanan lapangan virtual” ke gunung berapi aktif untuk mempelajari geologi atau menyelam ke dasar laut untuk mengamati ekosistem, semua hanya dengan headset VR. Namun, keberhasilan integrasi ini memerlukan investasi tidak hanya pada perangkat keras, tetapi juga pada pengembangan profesional guru.
Guru Sains diwajibkan menguasai cara mendesain pengalaman belajar berbasis imersif. Untuk mendukung hal ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) melalui Balai Pelatihan Guru (BPG) pada tahun 2025 meluncurkan modul pelatihan Teknologi Augmented Reality dan VR dengan total 50 jam, yang fokus pada integrasi kurikulum. Dengan adanya dukungan teknologi dan pelatihan yang memadai, AR dan VR tidak hanya berfungsi sebagai alat bantu, melainkan sebagai mesin inovasi yang menghasilkan pembelajaran sains yang lebih personal, mendalam, dan kontekstual, yang pada akhirnya akan menghasilkan generasi pelajar yang lebih siap menghadapi tantangan ilmiah masa depan.